Tuesday, July 18, 2006

Bila Gorbachev Jualan Koran

Oleh : PEPIH NUGRAHA

Di Indonesia, kerja jurnalistik sering dipersamakan dengan sebuah pulau tempat persinggahan sementara, tempat untuk melanjutkan perjalanan ke pulau tujuan yang sesungguhnya. Ia menjadi sekadar batu loncatan semata.

Sudah tidak terhitung banyaknya legislator dan eksekutor di tingkat lokal maupun pusat berlatar belakang pekerja pers. Mereka adalah wartawan, editor, atau bahkan pemilik koran untuk penerbitan lokal maupun nasional. Kurangnya gengsi wartawan dari sisi profesi maupun finansial menyebabkan mereka mencari peruntungan yang lebih baik dan "bergengsi".

Berbeda dengan dulu. Adam Malik dipinang Presiden Soeharto menjadi Wakil Presiden karena kecerdikannya berdiplomasi dan pergaulannya yang luas melewati batas-batas negara. Adam Malik bisa melakukan hal itu karena latar belakangnya sebagai jurnalis, dan ia tidak merasa jatuh gengsi karena menjadi seorang pewarta.

Wapres Jusuf Kalla sewaktu belum terjun ke dunia bisnis dan kini politik konon pernah menjadi wartawan. Ia pada akhirnya juga punya andil di media massa lokal yang terbit di Sulawesi Selatan.

Tetapi, jagat pers global kini tengah mengalami metamorfosa kalau tidak mau dibilang mengalami perubahan. Menjadi kebalikannya kalau dibandingkan dengan Indonesia. Di Indonesia, pers dianggap sebagai batu loncatan semata. Akan tetapi, bagi para mantan pemimpin dunia, pers justru mereka jadikan terminal atau pelabuhan terakhir dari sebuah perjalanan karier yang panjang.

Mantan Wakil Presiden AS Al Gore yang dulu berpasangan dengan Presiden Bill Clinton terjun ke dunia jurnalistik dengan mendirikan Current TV. Bersama rekannya, Joel Hyatt, Gore membangun televisi kabel interaktif pertama yanga jam tayang utamanya menampilkan gambar video yang dibuat para pemirsanya sendiri.

Baru-baru ini, sebagaimana dilaporkan kantor berita Associated Press, 7 Juni lalu, mantan pemimpin Uni Soviet Mikhail Sergeyevich Gorbachev bersama rekannya menanamkan modal untuk sebuah koran independen di Rusia. Bersama seorang anggota legislatif, Alexander Lebedev, Gorbachev membeli 49 persen saham koran Novaya Gazeta.

Tudingan miring lantas dialamatkan kepada Gorbachev-Lebedev, khususnya dari mereka yang menganggap duo politisi itu sebagai ancaman. Mereka menganggap terjunnya Gorbachev ke dunia jurnalistik tidak lebih karena didorong hasratnya untuk come back ke dunia politik. Pendeknya, pemenang hadiah Nobel Perdamaian itu dituding akan menggunakan kekuatan pers independen di Rusia sebagai kendaraan politiknya agar dapat tampil kembali di panggung politik.

"Kita perlu menyediakan keberagaman opini dan ketersediaan media untuk memublikasikannya, dan itu haruslah cerminan opini publik di Rusia," kata Gorbachev kepada para pemimpin redaksi internasional di Moskwa saat mengumumkan pembelian sahamnya.

"Kami sebagai pemegang saham akan menjalin kerja sama dengan editor kolektif dan tidak akan pernah mengadopsi cara-cara seperti itu dengan pimpinan bisnis. Kita harus, dan ini salah satu dari tujuan kami, memajukan perkembangan kualitas media massa sebagai sebuah kepentingan nilai-nilai demokratis," tambahnya.

Bagi para pemilik media massa kolot yang sepanjang hayatnya terikat oleh negara dan partai, jelas kiprah baru Gorby, demikian Gorbachev biasa dipanggil, menjadi ancaman yang senyata-nyatanya. Siapa pun tahu Gorbachev dengan gagasan revolusionernya berupa glasnost (keterbukaan) dan perestroika (restrukturisasi) pastilah akan membawa angin perubahan kedua (second wind of change) di bidang pers.

Dulu Gorbachev dengan glasnost dan perestroika-nya telah memberi inspirasi kepada 400 juta rakyat Uni Soviet untuk berpikir dan berani berbicara. Dampak Gorbachev ini tidak saja mengakhiri perang dingin Timur-Barat, tetapi juga mengubah peta dunia. Dimulai dengan trio negara Baltik Latvia, Lithuania, dan Estonia memerdekakan diri. Kemudian Rusia, Ukraina, dan Belarusia mendirikan Persemakmuran Negara-negara Merdeka, disusul delapan republik lainnya yang turut bergabung sebagai negara sendiri-sendiri.

Lalu angin perubahan apa lagi yang bakal dibawa Gorby dalam dunia pers? Begitulah pikir para pemilik pers kolot tentang langkah terbaru Gorbachev. Akan menjadi apa dan bagaimana dunia pers setelah kehadiran Gorby?

Kekhawatiran yang beralasan mengingat latar belakang Gorbachev yang membawa angin perubahan. Gorby juga dikenal sebagai negarawan yang mendengungkan kebebasan pers. Plus Lebedev yang terkemuka dalam upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme, duet ini dianggap sebagai ancaman.

Bagi Dmitry Muratov, redaktur pelaksana Novaya Gazeta, berkiprahnya Gorbachev dan Lebedev selain memelihara independensi editorialnya juga akan menjadikan koran ini media yang lugas dan tanpa tedeng aling-aling mengkritik setiap kebijakan pemerintah. Ia percaya kehadiran Gorbachev akan memproteksi segala kemungkinan bentuk-bentuk tekanan. "Kami ingin koran ini melayani masyarakat, bukan pemerintah," katanya.

Novaya Gazeta yang terbit dua kali dalam seminggu mengkhususkan diri dalam liputan investigasi, khususnya mengendus korupsi di tubuh pemerintahan. Lebedev yang dikenal sebagai legislator vokal dalam menyuarakan korupsi di tubuh eksekutif semakin memperkuat citra Novaya Gazeta sebagai koran independen. Koran ini juga mendapat simpatik karena kritikan pedasnya menyangkut kebijakan Kremlin di Chechnya, negara bagian Rusia yang berniat merdeka.

Muratov menjelaskan, sisa 51 persen saham dimiliki oleh staf atau pengelola koran. Bandingkan dengan Undang-Undang Pers kita yang pernah mengharuskan 20 persen saham dimiliki oleh karyawannya. Sedangkan 49 persen saham yang dibeli Gorbachev-Lebedev dikatakan Muratov sebagai "rahasia perusahaan". Novaya Gazeta bertiras 513.000 di Rusia dan 171.500 eksemplar beredar di Moskow.

Bagi penguasa Kremlin, yakni Presiden Vladimir Putin, terjunnya politisi kawakan ke dunia pers tidak lain sebagai sebuah ancaman bagi kekuasaannya sendiri. Di sisi lain, Gorby adalah pengkritik nomor wahid atas upaya Kremlin mengontrol media massa Rusia meski dia menghargai Putin dalam merestorasi stabilitas dan memelihara prestise Rusia pasca-Uni Soviet di mata dunia.

Dengan kata lain, motivasi Gorbachev terjun ke dunia pers tidak lain terdorong oleh sepak terjang pemerintahan Putin yang represif, yang kini mengendalikan tiga saluran televisi besar. Sementara sejumlah besar media massa akhir-akhir ini juga dimiliki kroni-kroni Kremlin.

Harian Izvestia yang disegani, tahun lalu, misalnya, telah dibeli perusahaan gas milik pemerintah, Gazprom. Harian bisnis Kommersant milik Boris Berezoysky yang kini menjadi buangan di negeri orang karena memusuhi Kremlin dikabarkan akan ditutup untuk kemudian dibeli konglomerat Roman Abramovich. Pemilik klub sepak bola Chelsea ini dikenal sebagai loyalis Kremlin.

Oleg Panfilov, Kepala Center for Journalism in Extreme Situations, mengungkapkan, sudah sejak lama Gorby menyokong Novaya Gazeta sebagai koran independen. Keterlibatan langsungnya dipastikan semakin membantu publikasinya. "Lebih dari Izvestia dan Kommersant, Novaya Gazeta punya kesempatan yang lebih baik untuk dikenal sebagai alternatif berita, opini, maupun pendapat," katanya. Sumber : www.kompas.com

Bila Gorbachev Jualan Koran

Oleh : PEPIH NUGRAHA

Di Indonesia, kerja jurnalistik sering dipersamakan dengan sebuah pulau tempat persinggahan sementara, tempat untuk melanjutkan perjalanan ke pulau tujuan yang sesungguhnya. Ia menjadi sekadar batu loncatan semata.

Sudah tidak terhitung banyaknya legislator dan eksekutor di tingkat lokal maupun pusat berlatar belakang pekerja pers. Mereka adalah wartawan, editor, atau bahkan pemilik koran untuk penerbitan lokal maupun nasional. Kurangnya gengsi wartawan dari sisi profesi maupun finansial menyebabkan mereka mencari peruntungan yang lebih baik dan "bergengsi".

Berbeda dengan dulu. Adam Malik dipinang Presiden Soeharto menjadi Wakil Presiden karena kecerdikannya berdiplomasi dan pergaulannya yang luas melewati batas-batas negara. Adam Malik bisa melakukan hal itu karena latar belakangnya sebagai jurnalis, dan ia tidak merasa jatuh gengsi karena menjadi seorang pewarta.

Wapres Jusuf Kalla sewaktu belum terjun ke dunia bisnis dan kini politik konon pernah menjadi wartawan. Ia pada akhirnya juga punya andil di media massa lokal yang terbit di Sulawesi Selatan.

Tetapi, jagat pers global kini tengah mengalami metamorfosa kalau tidak mau dibilang mengalami perubahan. Menjadi kebalikannya kalau dibandingkan dengan Indonesia. Di Indonesia, pers dianggap sebagai batu loncatan semata. Akan tetapi, bagi para mantan pemimpin dunia, pers justru mereka jadikan terminal atau pelabuhan terakhir dari sebuah perjalanan karier yang panjang.

Mantan Wakil Presiden AS Al Gore yang dulu berpasangan dengan Presiden Bill Clinton terjun ke dunia jurnalistik dengan mendirikan Current TV. Bersama rekannya, Joel Hyatt, Gore membangun televisi kabel interaktif pertama yanga jam tayang utamanya menampilkan gambar video yang dibuat para pemirsanya sendiri.

Baru-baru ini, sebagaimana dilaporkan kantor berita Associated Press, 7 Juni lalu, mantan pemimpin Uni Soviet Mikhail Sergeyevich Gorbachev bersama rekannya menanamkan modal untuk sebuah koran independen di Rusia. Bersama seorang anggota legislatif, Alexander Lebedev, Gorbachev membeli 49 persen saham koran Novaya Gazeta.

Tudingan miring lantas dialamatkan kepada Gorbachev-Lebedev, khususnya dari mereka yang menganggap duo politisi itu sebagai ancaman. Mereka menganggap terjunnya Gorbachev ke dunia jurnalistik tidak lebih karena didorong hasratnya untuk come back ke dunia politik. Pendeknya, pemenang hadiah Nobel Perdamaian itu dituding akan menggunakan kekuatan pers independen di Rusia sebagai kendaraan politiknya agar dapat tampil kembali di panggung politik.

"Kita perlu menyediakan keberagaman opini dan ketersediaan media untuk memublikasikannya, dan itu haruslah cerminan opini publik di Rusia," kata Gorbachev kepada para pemimpin redaksi internasional di Moskwa saat mengumumkan pembelian sahamnya.

"Kami sebagai pemegang saham akan menjalin kerja sama dengan editor kolektif dan tidak akan pernah mengadopsi cara-cara seperti itu dengan pimpinan bisnis. Kita harus, dan ini salah satu dari tujuan kami, memajukan perkembangan kualitas media massa sebagai sebuah kepentingan nilai-nilai demokratis," tambahnya.

Bagi para pemilik media massa kolot yang sepanjang hayatnya terikat oleh negara dan partai, jelas kiprah baru Gorby, demikian Gorbachev biasa dipanggil, menjadi ancaman yang senyata-nyatanya. Siapa pun tahu Gorbachev dengan gagasan revolusionernya berupa glasnost (keterbukaan) dan perestroika (restrukturisasi) pastilah akan membawa angin perubahan kedua (second wind of change) di bidang pers.

Dulu Gorbachev dengan glasnost dan perestroika-nya telah memberi inspirasi kepada 400 juta rakyat Uni Soviet untuk berpikir dan berani berbicara. Dampak Gorbachev ini tidak saja mengakhiri perang dingin Timur-Barat, tetapi juga mengubah peta dunia. Dimulai dengan trio negara Baltik Latvia, Lithuania, dan Estonia memerdekakan diri. Kemudian Rusia, Ukraina, dan Belarusia mendirikan Persemakmuran Negara-negara Merdeka, disusul delapan republik lainnya yang turut bergabung sebagai negara sendiri-sendiri.

Lalu angin perubahan apa lagi yang bakal dibawa Gorby dalam dunia pers? Begitulah pikir para pemilik pers kolot tentang langkah terbaru Gorbachev. Akan menjadi apa dan bagaimana dunia pers setelah kehadiran Gorby?

Kekhawatiran yang beralasan mengingat latar belakang Gorbachev yang membawa angin perubahan. Gorby juga dikenal sebagai negarawan yang mendengungkan kebebasan pers. Plus Lebedev yang terkemuka dalam upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme, duet ini dianggap sebagai ancaman.

Bagi Dmitry Muratov, redaktur pelaksana Novaya Gazeta, berkiprahnya Gorbachev dan Lebedev selain memelihara independensi editorialnya juga akan menjadikan koran ini media yang lugas dan tanpa tedeng aling-aling mengkritik setiap kebijakan pemerintah. Ia percaya kehadiran Gorbachev akan memproteksi segala kemungkinan bentuk-bentuk tekanan. "Kami ingin koran ini melayani masyarakat, bukan pemerintah," katanya.

Novaya Gazeta yang terbit dua kali dalam seminggu mengkhususkan diri dalam liputan investigasi, khususnya mengendus korupsi di tubuh pemerintahan. Lebedev yang dikenal sebagai legislator vokal dalam menyuarakan korupsi di tubuh eksekutif semakin memperkuat citra Novaya Gazeta sebagai koran independen. Koran ini juga mendapat simpatik karena kritikan pedasnya menyangkut kebijakan Kremlin di Chechnya, negara bagian Rusia yang berniat merdeka.

Muratov menjelaskan, sisa 51 persen saham dimiliki oleh staf atau pengelola koran. Bandingkan dengan Undang-Undang Pers kita yang pernah mengharuskan 20 persen saham dimiliki oleh karyawannya. Sedangkan 49 persen saham yang dibeli Gorbachev-Lebedev dikatakan Muratov sebagai "rahasia perusahaan". Novaya Gazeta bertiras 513.000 di Rusia dan 171.500 eksemplar beredar di Moskow.

Bagi penguasa Kremlin, yakni Presiden Vladimir Putin, terjunnya politisi kawakan ke dunia pers tidak lain sebagai sebuah ancaman bagi kekuasaannya sendiri. Di sisi lain, Gorby adalah pengkritik nomor wahid atas upaya Kremlin mengontrol media massa Rusia meski dia menghargai Putin dalam merestorasi stabilitas dan memelihara prestise Rusia pasca-Uni Soviet di mata dunia.

Dengan kata lain, motivasi Gorbachev terjun ke dunia pers tidak lain terdorong oleh sepak terjang pemerintahan Putin yang represif, yang kini mengendalikan tiga saluran televisi besar. Sementara sejumlah besar media massa akhir-akhir ini juga dimiliki kroni-kroni Kremlin.

Harian Izvestia yang disegani, tahun lalu, misalnya, telah dibeli perusahaan gas milik pemerintah, Gazprom. Harian bisnis Kommersant milik Boris Berezoysky yang kini menjadi buangan di negeri orang karena memusuhi Kremlin dikabarkan akan ditutup untuk kemudian dibeli konglomerat Roman Abramovich. Pemilik klub sepak bola Chelsea ini dikenal sebagai loyalis Kremlin.

Oleg Panfilov, Kepala Center for Journalism in Extreme Situations, mengungkapkan, sudah sejak lama Gorby menyokong Novaya Gazeta sebagai koran independen. Keterlibatan langsungnya dipastikan semakin membantu publikasinya. "Lebih dari Izvestia dan Kommersant, Novaya Gazeta punya kesempatan yang lebih baik untuk dikenal sebagai alternatif berita, opini, maupun pendapat," katanya.

Mari Belajar Berbisnis

Belajar menjadi pengusaha dan menggeluti dunia bisnis tidak perlu menunggu punya gelar sarjana, bermodal besar, atau perlu investor. Kita-kita ini juga bisa belajar jadi pengusaha. Tidak butuh modal yang terlalu besar. Yang penting, jeli melihat peluang pasar dan kreatif. Nggak percaya? Simak nih pengalaman teman-teman kamu ini.

Dodik Oktarra hobi berat main Playstation. Kegemaran itu justru mampu menghadirkan insting bisnis ketika dia melihat banyak banget muncul rental Playstation di dekat kampusnya. ''Gue ngeliat kalau rental Playstation di kampus gue itu rame banget. Itu kenapa gue pengen coba buka usaha rental Playstation,'' ujar Dodik.

Keinginan Dodik untuk buka usaha itu makin kuat karena dia juga pengen bisa mengisi waktu luang sekalian menyalurkan hobinya. ''Daripada gue cuma main Playstation terus menghabiskan uang, mendingan gue bikin hobi gue itu bisa menghasilkan uang,'' kata Dodik.

Akhirnya, Dodik membuka usaha rental Playstation itu pada 2002. ''Waktu itu gue baru aja masuk kampus,'' kata mahasiswa Gunadarma ini. Dodik menyewa tempat di dekat kampus Bina Sarana Informatika, Pondok Labu. ''Gue pikir sekitar kampus tempat yang cocok untuk buka rental Playstation,'' ujar Dodik. Setelah menyewa tempat seharga Rp 4 juta setahun, ia membeli tiga mesin Playstation. Sedangkan untuk televisi, ada juga yang dibeli dan ada yang diambil dari rumahnya. Semuanya ia beli dan bayar dengan uang tabungannya sendiri.

Ternyata seiring berjalannya waktu, rental Playstation milik Dodik makin ramai dikunjungi oleh anak-anak mahasiswa. Itu membuatnya berpikir untuk menambah mesin Playstation dan menyewa tempat yang lebih besar. Walaupun terkesan spekulatif, Dodik mencoba menambah usahanya dengan mesin Playstation terbaru, yaitu Playstation 2. Dan ia juga menyewa tempat yang lebih besar, tetapi tetap di lingkungan kampus.

Semua itu menggunakan uang hasil keuntungannya. ''Padahal gue sebenarnya pengen beli motor, cuma gue memilih pakai untuk beli PS 2 aja,'' ujar anak pertama dari tiga bersaudara ini. Dari sewa Rp 4 Juta per tahun, Dodik mencoba ke tempat yang lebih besar dengan harga sewa Rp 8 juta per tahun. Ternyata, usahanya kali ini juga membuahkan hasil. Tempatnya jadi semakin ramai dikunjungi mahasiswa yang ingin bermain Playstation. Maklum saja, harga sewa rental yang buka mulai pukul 10.00-23.00 itu dipatok Dodik tidak terlalu mahal. Untuk tiap satu jam, Dodik menetapkan tarif Rp 3.000 saja.

Karena rentalnya semakin ramai, Dodik juga merasa perlu untuk menggaji seorang pegawai untuk menjaga rentalnya selama ia berkuliah. ''Gue minta bantuan teman gue untuk jaga rental selama gue nggak ada,'' ujar Dodik. Soal keuntungan, Dodik mengaku hasil yang didapatnya cukup untuk kehidupannya sehari-hari. Bahkan, dia bisa membayar kuliahnya sendiri serta membiayai keluarganya. Apalagi ayahnya sudah lama meninggal, sehingga dia dan adiknya bergotong-royong mencoba membantu kehidupan ibu beserta adiknya yang paling kecil.

Walau begitu, Dodik juga terkadang menghadapi dilema ketika harus memilih kuliah atau usahanya. ''Biasanya sih kalau bentrok sama kuliah, gue lebih memilih usaha gue. Susah juga soalnya, karena biaya kuliah gue juga berasal dari usaha rental ini,'' tutur Dodik.

Arif Widodo, mahasiswa UPN angkatan 2000, coba membuka usaha sablon baju. ''Gue iseng aja buka usaha ini. Soalnya, kan waktu zaman SMU sering kita lihat anak-anak yang pada bikin baju sendiri sama kelompok mereka masing-masing,'' kata Arif. Selain itu, Arif juga ingin dapat mengisi waktu luang dengan kegiatan yang dapat menghasilkan uang. Akhirnya, bersama dua orang teman dekatnya, Arif mewujudkan mimpinya itu pada 2001 lalu. Modal awalnya adalah uang kolektif yang dikumpulkan oleh mereka bertiga. ''Dari uang itu kita membeli peralatan sablon. Jumlahnya waktu itu belum sebanyak sekarang,'' ucap Arif.

Mulanya, mereka bertiga belajar dari orang yang mempunyai usaha serupa sambil melakukan percobaan. Percobaan pertama adalah membuat baju sewaktu pemilu. ''Waktu itu kita benci sama politik. Jadi, baju yang kita desain, kita buat agak antipolitik,'' kata Arif.

Setelah itu mereka mulai mendapat pesanan untuk membuat baju. Awalnya, pemesan adalah teman-teman mereka juga. ''Waktu itu kita masih menerima pesanan satuan dan desain dibuat sendiri oleh mereka,'' tutur cowok yang hobi basket ini.

Lama-kelamaan pesanan mulai banyak datang. Terkadang bukan hanya satuan lagi, tetapi langsung puluhan. Bahkan, menurut Arif, usahanya juga sering membuat pesanan untuk acara-acara tertentu seperti untuk acara `Enjoy Jakarta'. ''Malah kita juga pernah membuat baju untuk beberapa film, salah satunya film `Ruang','' kata Arif.

Namun, nggak berarti usaha yang mereka jalani berjalan mulus-mulus terus. Terkadang mereka juga sering merasa kerepotan. Ini tidak lain karena mereka hanya melakukan usaha bertiga. ''Kadang akibat (pesanan) sudah terlalu banyak, kita bisa saja melepas pesanan yang datang,'' ucap Arif. Nah, kalau soal keuntungan, biasanya dibagi tiga. ''Keuntungan lumayanlah buat tambah-tambah beli pulsa atau ongkos,'' katanya. Untuk saat ini Arif dan teman-temannya masih sering menerima pesanan-pesanan dari distro-distro, acara-acara, atau pesanan per orangan.

Kalau Luthfi Fajar Fuady (21 tahun) punya cerita yang sedikit berbeda. Berawal dari hobinya mengutak-atik peralatan elektronik, dia dan teman-temannya membuat pemancar sederhana dan mencoba untuk siaran serta membuat radio dengan nama Kreative 107.7 FM. ''Pemancar yang gue buat awalnya cuma dari tiang setinggi enam meter,'' ujar Luthfi.

Lalu garasi rumahnya di Komplek Taman Kedaung, Ciputat akhirnya dipergunakan sebagai ruangan siaran. ''Awalnya sih, siaran kita cuma menjangkau sekitar daerah rumah saja, tapi lama-kelamaan responsnya bagus dan cukup meluas,'' kata Luthfi. Seiring berjalannya waktu, tepatnya setelah selama 3 bulan ia mencoba siaran dengan peralatan dan kondisi yang sederhana, Luthfi pun berusaha memperbarui tempat siarannya sesuai standar radio.

Ia memulai dengan mengganti pemancar sederhananya dengan pemancar yang memang dibuat untuk sebuah radio. Setelah itu, garasi tempat ia dan kawan-kawannya siaran disulap menjadi ruangan yang ber-AC dan kedap suara. ''Semua itu gue lakukan karena radio ini mendapat respons yang cukup positif,'' ujar Luthfi.

Apalagi, untuk urusan modal, kayaknya dia terbilang nggak masalah. Maklum deh, dia punya modal yang kuat. ''Dana dari gue ditambah teman-teman gue yang mau bantu,'' ujar mahasiswa Universitas Islam Negeri ini.

Namun, Luthfi juga mengaku bikin radio komunitas seperti ini bukan berarti tanpa kendala. ''Kendala untuk sebuah radio komunitas di antaranya terkadang manajemen pun bisa merangkap menjadi seorang penyiar,'' kata Luthfi. ''Sebaliknya penyiar pun terkadang memiliki kendala waktu, karena mereka semua masih kuliah.''

Namun, terlepas dari semua kendala itu, Luthfi setidaknya memberikan kegiatan positif untuk anak-anak di perumahan tempat dia tinggal. ''Daripada mereka nongkrong yang nggak jelas, mendingan mereka ikutan kegiatan radio komunitas ini. Ternyata, mereka banyak yang mau,'' tutur Luthfi.

Untuk sementara ini 'Kreative FM' lebih memfokuskan request dari para pendengar ketika siaran. ''Ini strategi kita untuk menjangkau pendengar lebih luas. Jadi, kita belum bikin acara dulu selain request dan obrolan dengan pendengar,'' ucap mahasiswa semester 6 ini. Sekarang ini 'Kreative FM' mempunyai 14 penyiar ditambah tim manajemen sebagai tim intinya.

Berawal dari iseng, akhirnya membuahkan keuntungan. Teman-teman kita sudah membuktikan itu. Meski mereka juga tidak akan selamanya menggeluti usaha itu, setidaknya seluk-beluk dunia bisnis telah sedikit terkuak dan mereka berhasil bertahan di dalamnya.mg03. sumber : www.republika.co.id

Urgensi Dialog Antarmedia

Oleh : A Bakir Ihsan

Mantan Pekerja Pers, Dosen Ilmu Politik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta

Baru-baru ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Perdana Menteri Norwegia, Jens Stoltenberg, menggagas penyelenggaraan Global Inter-Media Dialogue atau Dialog Antarmedia Global. Sebuah forum yang berupaya merangkai beragam perspektif dan pengalaman praktisi media massa dunia dalam memotret dan menyajikan sebuah fakta ke ranah media massa. Menurut rencana forum ini akan dihadiri 82 tokoh-tokoh media utama 40 negara dari Asia, Timur Tengah, Eropa, Afrika, Amerika Serikat, dan Amerika Latin.

Forum ini sebenarnya merupakan aktualisasi dari gagasan SBY yang dilontarkannya tak lama setelah mencuatnya kontroversi pemuatan kartun Nabi Muhammad di media Denmark, Jyllands-Posten. Ide ini diilhami oleh forum dialog antariman (interfaith dialogue) yang sering diselenggarakan oleh lembaga-lembaga keagamaan dan dianggap cukup efektif. Namun yang menarik dari dialog antarmedia ini adalah bahwa peran media selama ini tidak hanya menjadi corong berita, namun telah sampai pada penciptaan citra.

Peran media massa sebagai pencipta citra tak diragukan. Survei The Media Center, BBC, dan Reuters pada Mei 2006 di sepuluh negara, termasuk Indonesia, mendapati media lebih dipercaya daripada pemerintah. Peran signifikan ini dapat menyebabkan eksistensi media dalam dua wajah yang paradoks. Dari pencitraan media, konflik bisa lahir, tapi kedamaian juga bisa hadir. Kasus kartun Nabi Muhammad yang dilansir media massa Barat telah menyulut amarah umat Islam di penjuru dunia. Namun berkat media massa pula ulah Zinedine Zidane yang menyeruduk Marco Materazzi dalam final Piala Dunia 2006 mendapat simpati.

Melihat peran strategis media, tak heran bila kedua pemimpin menaruh harapan cukup besar terhadap peran media massa internasional. Paling tidak media dapat mendorong tumbuhnya toleransi tanpa mengorbankan kebebasan berekspresi, sehingga lahir harmoni. Bukti pengakuan SBY bahwa media sangat menentukan tata interaksi sosial baik pada tataran nasional maupun global adalah responsinya terhadap pemuatan karikatur Nabi Muhammad melalui artikelnya, ''Let's Try to Get Beyond Caricatures'', yang dimuat harian International Herald Tribune (10 Februari 2006).

Media dan civil society
Dialog antarmedia merupakan pengejawantahan dari tradisi media massa yang selalu menyediakan ruang check and balances. Kalau selama ini media mampu menjadi lembaga yang menyediakan ruang hak jawab --walaupun terkadang tidak proporsional-- maka dialog ini lebih mengedepankan kesamaan persepsi tanpa adanya si. Kalau selama ini media menjadi lembaga yang cukup n bahkan hegemonik dalam simulakra wacana, maka dialog ini menarik garis lurus dan sejajar tentang pentingnya kesamaan persepsi untuk memperkuat civil society, demokrasi, dan perdamaian.

Tidak adanya kesamaan persepsi tentang civil society telah menyebabkan media massa terbuai dalam kebebasan yang justru kontraproduktif bagi penegakan civil society. Kontroversi kartun Nabi Muhammad menunjukkan ada perbedaan persepsi tentang kebebasan berekspresi yang justru berdampak pada mencuatnya tindakan anarki. Dalam batas-batas inilah dialog menjadi sangat signifikan apalagi bagi media yang sangat impresif dalam membentuk wacana dalam masyarakat. Lebih dari itu, dialog antaramedia dari berbagai negara ini dapat menjadi ajang sharing nilai-nilai dan budaya yang bisa jadi berbeda, sehingga melahirkan perspektif berbeda pula dalam memotret fenomena sosial. Itulah sebabnya tingkat representasi keterwakilan pelbagai negara dalam dialog ini menjadi cukup penting. Dengan semakin melibatkan banyak unsur dalam dialog, maka kualitas dialog makin representatif. Paling tidak, representasi tersebut dapat memperkecil kesenjangan pemahaman antarmedia massa yang ada di dunia.

Dialog antarmedia ini dapat meretas sekat-sekat kreativitas yang terjadi karena ketidaksamaan persepsi tentang realitas. Belum lagi tingkat hegemoni media massa Barat yang sering menjadi referensi pengetahuan dunia berkembang tanpa reserve. Paling tidak dialog ini dapat meminimalisasi anarkisme dalam segala bentuknya. Baik akibat misunderstanding terhadap wacana yang disebarkan oleh media massa maupun akibat informasi yang diproduksi secara provokatif dan diskriminatif.

Misi profetis
Media tidak bisa dibaca sebagai 'kekuatan liar' dengan segudang idealisme. Media massa tetap sarat dengan kepentingan dan keberpihakan. Dalam konteks dialog antarmedia, keberpihakan pada penguatan civil society merupakan bagian dari misi profetis media. Tanpa keberpihakan pada civil society, media hanya berjuang untuk kepentingan eksistensi dirinya. Padahal eksistensi media tidak bisa dilepaskan dari eksistensi masyarakat. Mencari titik temu persepsi melalui dialog, baik pada tataran budaya, politik, ekonomi maupun lainnya antarmedia massa tidak berarti mematikan keragaman perspektif. Titik temu persepsi hanya dimungkinkan pada tataran ''epistimologi'' sebuah realitas yang dapat mencegah terjadinya distorsi dan deviasi informasi. Pengungkapan kasus korupsi, diskriminasi, dan pelanggaran lainnya harus dilandasi oleh misi profetis yang meletakkan media tidak sekadar sebagai corong berita, namun mampu mengusut tuntas secara informatif terhadap pelbagai kasus pelanggaran.

Banyak contoh yang memperlihatkan peran profetis pers yang berhasil membongkar kebobrokan sebuah sistem atau birokrasi pemerintahan. Bahkan tidak jarang media massa ikut andil dalam pelengserean sebuah kekuasaan. Peran inilah yang meletakkan media massa sebagai watch dog yang terus membuat gelisah para pelaku korupsi atau pelanggaran lainnya. Di tengah pasar informasi yang begitu eksesif bahkan cenderung massif, peran profetis ini bisa jadi tergusur oleh pragmatisme publik. Keseriusan media massa dalam menginvestigasi sebuah fakta bisa jadi menjemukan pembaca. Kejenuhan dan kejemuan ini bisa disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya karena apatisme masyarakat terhadap penyelesaian problema sosial yang diangkat oleh media. Oleh sebab itu, partisipasi lembaga-lembaga terkait menjadi sangat signifikan bagi aktualisasi misi profetis media massa.

Persoalannya kemudian, adakah kehendak untuk memperkuat misi profetis media massa? Pertanyaan ini harus dijawab secara holistik dan komprehensif, sehingga tidak terjadi upaya lempar batu sembunyi tangan. Namun melihat komitmen Presiden SBY khususnya dalam upaya membangun dialog antarmedia internasional bagi penguatan civil society (masyarakat berkeadaban), maka kini kartu truf ada pada media massa dan masyarakat pembaca. Apakah media massa akan dibiarkan sekadar sebagai alat resonansi dan corong informasi yang merayakan sensasi, atau sebagai kekuatan yang berpihak pada demokrasi dan civil society. sumber : www.republika.co.id