Tuesday, July 18, 2006

Mari Belajar Berbisnis

Belajar menjadi pengusaha dan menggeluti dunia bisnis tidak perlu menunggu punya gelar sarjana, bermodal besar, atau perlu investor. Kita-kita ini juga bisa belajar jadi pengusaha. Tidak butuh modal yang terlalu besar. Yang penting, jeli melihat peluang pasar dan kreatif. Nggak percaya? Simak nih pengalaman teman-teman kamu ini.

Dodik Oktarra hobi berat main Playstation. Kegemaran itu justru mampu menghadirkan insting bisnis ketika dia melihat banyak banget muncul rental Playstation di dekat kampusnya. ''Gue ngeliat kalau rental Playstation di kampus gue itu rame banget. Itu kenapa gue pengen coba buka usaha rental Playstation,'' ujar Dodik.

Keinginan Dodik untuk buka usaha itu makin kuat karena dia juga pengen bisa mengisi waktu luang sekalian menyalurkan hobinya. ''Daripada gue cuma main Playstation terus menghabiskan uang, mendingan gue bikin hobi gue itu bisa menghasilkan uang,'' kata Dodik.

Akhirnya, Dodik membuka usaha rental Playstation itu pada 2002. ''Waktu itu gue baru aja masuk kampus,'' kata mahasiswa Gunadarma ini. Dodik menyewa tempat di dekat kampus Bina Sarana Informatika, Pondok Labu. ''Gue pikir sekitar kampus tempat yang cocok untuk buka rental Playstation,'' ujar Dodik. Setelah menyewa tempat seharga Rp 4 juta setahun, ia membeli tiga mesin Playstation. Sedangkan untuk televisi, ada juga yang dibeli dan ada yang diambil dari rumahnya. Semuanya ia beli dan bayar dengan uang tabungannya sendiri.

Ternyata seiring berjalannya waktu, rental Playstation milik Dodik makin ramai dikunjungi oleh anak-anak mahasiswa. Itu membuatnya berpikir untuk menambah mesin Playstation dan menyewa tempat yang lebih besar. Walaupun terkesan spekulatif, Dodik mencoba menambah usahanya dengan mesin Playstation terbaru, yaitu Playstation 2. Dan ia juga menyewa tempat yang lebih besar, tetapi tetap di lingkungan kampus.

Semua itu menggunakan uang hasil keuntungannya. ''Padahal gue sebenarnya pengen beli motor, cuma gue memilih pakai untuk beli PS 2 aja,'' ujar anak pertama dari tiga bersaudara ini. Dari sewa Rp 4 Juta per tahun, Dodik mencoba ke tempat yang lebih besar dengan harga sewa Rp 8 juta per tahun. Ternyata, usahanya kali ini juga membuahkan hasil. Tempatnya jadi semakin ramai dikunjungi mahasiswa yang ingin bermain Playstation. Maklum saja, harga sewa rental yang buka mulai pukul 10.00-23.00 itu dipatok Dodik tidak terlalu mahal. Untuk tiap satu jam, Dodik menetapkan tarif Rp 3.000 saja.

Karena rentalnya semakin ramai, Dodik juga merasa perlu untuk menggaji seorang pegawai untuk menjaga rentalnya selama ia berkuliah. ''Gue minta bantuan teman gue untuk jaga rental selama gue nggak ada,'' ujar Dodik. Soal keuntungan, Dodik mengaku hasil yang didapatnya cukup untuk kehidupannya sehari-hari. Bahkan, dia bisa membayar kuliahnya sendiri serta membiayai keluarganya. Apalagi ayahnya sudah lama meninggal, sehingga dia dan adiknya bergotong-royong mencoba membantu kehidupan ibu beserta adiknya yang paling kecil.

Walau begitu, Dodik juga terkadang menghadapi dilema ketika harus memilih kuliah atau usahanya. ''Biasanya sih kalau bentrok sama kuliah, gue lebih memilih usaha gue. Susah juga soalnya, karena biaya kuliah gue juga berasal dari usaha rental ini,'' tutur Dodik.

Arif Widodo, mahasiswa UPN angkatan 2000, coba membuka usaha sablon baju. ''Gue iseng aja buka usaha ini. Soalnya, kan waktu zaman SMU sering kita lihat anak-anak yang pada bikin baju sendiri sama kelompok mereka masing-masing,'' kata Arif. Selain itu, Arif juga ingin dapat mengisi waktu luang dengan kegiatan yang dapat menghasilkan uang. Akhirnya, bersama dua orang teman dekatnya, Arif mewujudkan mimpinya itu pada 2001 lalu. Modal awalnya adalah uang kolektif yang dikumpulkan oleh mereka bertiga. ''Dari uang itu kita membeli peralatan sablon. Jumlahnya waktu itu belum sebanyak sekarang,'' ucap Arif.

Mulanya, mereka bertiga belajar dari orang yang mempunyai usaha serupa sambil melakukan percobaan. Percobaan pertama adalah membuat baju sewaktu pemilu. ''Waktu itu kita benci sama politik. Jadi, baju yang kita desain, kita buat agak antipolitik,'' kata Arif.

Setelah itu mereka mulai mendapat pesanan untuk membuat baju. Awalnya, pemesan adalah teman-teman mereka juga. ''Waktu itu kita masih menerima pesanan satuan dan desain dibuat sendiri oleh mereka,'' tutur cowok yang hobi basket ini.

Lama-kelamaan pesanan mulai banyak datang. Terkadang bukan hanya satuan lagi, tetapi langsung puluhan. Bahkan, menurut Arif, usahanya juga sering membuat pesanan untuk acara-acara tertentu seperti untuk acara `Enjoy Jakarta'. ''Malah kita juga pernah membuat baju untuk beberapa film, salah satunya film `Ruang','' kata Arif.

Namun, nggak berarti usaha yang mereka jalani berjalan mulus-mulus terus. Terkadang mereka juga sering merasa kerepotan. Ini tidak lain karena mereka hanya melakukan usaha bertiga. ''Kadang akibat (pesanan) sudah terlalu banyak, kita bisa saja melepas pesanan yang datang,'' ucap Arif. Nah, kalau soal keuntungan, biasanya dibagi tiga. ''Keuntungan lumayanlah buat tambah-tambah beli pulsa atau ongkos,'' katanya. Untuk saat ini Arif dan teman-temannya masih sering menerima pesanan-pesanan dari distro-distro, acara-acara, atau pesanan per orangan.

Kalau Luthfi Fajar Fuady (21 tahun) punya cerita yang sedikit berbeda. Berawal dari hobinya mengutak-atik peralatan elektronik, dia dan teman-temannya membuat pemancar sederhana dan mencoba untuk siaran serta membuat radio dengan nama Kreative 107.7 FM. ''Pemancar yang gue buat awalnya cuma dari tiang setinggi enam meter,'' ujar Luthfi.

Lalu garasi rumahnya di Komplek Taman Kedaung, Ciputat akhirnya dipergunakan sebagai ruangan siaran. ''Awalnya sih, siaran kita cuma menjangkau sekitar daerah rumah saja, tapi lama-kelamaan responsnya bagus dan cukup meluas,'' kata Luthfi. Seiring berjalannya waktu, tepatnya setelah selama 3 bulan ia mencoba siaran dengan peralatan dan kondisi yang sederhana, Luthfi pun berusaha memperbarui tempat siarannya sesuai standar radio.

Ia memulai dengan mengganti pemancar sederhananya dengan pemancar yang memang dibuat untuk sebuah radio. Setelah itu, garasi tempat ia dan kawan-kawannya siaran disulap menjadi ruangan yang ber-AC dan kedap suara. ''Semua itu gue lakukan karena radio ini mendapat respons yang cukup positif,'' ujar Luthfi.

Apalagi, untuk urusan modal, kayaknya dia terbilang nggak masalah. Maklum deh, dia punya modal yang kuat. ''Dana dari gue ditambah teman-teman gue yang mau bantu,'' ujar mahasiswa Universitas Islam Negeri ini.

Namun, Luthfi juga mengaku bikin radio komunitas seperti ini bukan berarti tanpa kendala. ''Kendala untuk sebuah radio komunitas di antaranya terkadang manajemen pun bisa merangkap menjadi seorang penyiar,'' kata Luthfi. ''Sebaliknya penyiar pun terkadang memiliki kendala waktu, karena mereka semua masih kuliah.''

Namun, terlepas dari semua kendala itu, Luthfi setidaknya memberikan kegiatan positif untuk anak-anak di perumahan tempat dia tinggal. ''Daripada mereka nongkrong yang nggak jelas, mendingan mereka ikutan kegiatan radio komunitas ini. Ternyata, mereka banyak yang mau,'' tutur Luthfi.

Untuk sementara ini 'Kreative FM' lebih memfokuskan request dari para pendengar ketika siaran. ''Ini strategi kita untuk menjangkau pendengar lebih luas. Jadi, kita belum bikin acara dulu selain request dan obrolan dengan pendengar,'' ucap mahasiswa semester 6 ini. Sekarang ini 'Kreative FM' mempunyai 14 penyiar ditambah tim manajemen sebagai tim intinya.

Berawal dari iseng, akhirnya membuahkan keuntungan. Teman-teman kita sudah membuktikan itu. Meski mereka juga tidak akan selamanya menggeluti usaha itu, setidaknya seluk-beluk dunia bisnis telah sedikit terkuak dan mereka berhasil bertahan di dalamnya.mg03. sumber : www.republika.co.id

0 Comments:

Post a Comment

<< Home